TATA CARA DJAWA
Sebagaimana kita
ketahui, bahwa dalam peradaban "JAWA" banyak kita jumpai aturan-aturan yang
bersifat mengikat. Hal ini karena aturan-aturan tersebut
merupakan wawasan dari nenek moyang kita
yang sudah turun temurun diyakini dan disosialisasikan dalam kehidupan bermasyarakat khususnya dilingkungan masyarakat suku
Jawa.
Wawasan nenek
moyang tersebut dalam kehidupan bermasyarakat
disebut dalam istilah " ILMU
TITEN". Mengapa disebut
demikian ? Hal ini karena aturan-aturan
tersebut berdasarkan pengalaman dan
pengamatan terhadap hal-hal yang terjadi pada perubahan alam yang dikaitkan dengan kejadian yang berlaku dalam
kehidupan mereka saat itu yang tecatat dalam pitutur turun temurun .
Salah satunya adalah perhitungan hari dalam
menentukan perjodohan, membangun rumah
atau neptu/ weton dari kelahiran seseorang.
Saya mengajak para generasi muda, khususnya
generasi-generasi suku jawa untuk
mengingat kembali sekaligus melestarikan budaya Jawa agar
pengetahuan terhadap budaya tersebut
tidak hilang begitu saja terlindas oleh
kemajuan teknologi yang berkembang dengan pesat saat ini. Jangan
sampai kita sebagai generasi muda dikatakan tidak pecus atau apatis untuk tidak dapat melestarikan budaya kita
sendiri, terlebih kita hidup di pulau
Jawa
Pada kesempatan
ini saya mencoba mengulas kembali
bagaimana orang tua kita menghitung Neptu/ Weton hari lahir sebagai acuan untuk menentukan baik buruknya suatu
rencana yang akan kita laksanakan.
Sebagaimana kita
ketahui, bahwa hari lahir ( weton ) adalah
merupakan awal dari manusia dalam kehidupannya di dunia ini, sangat diperlukan sekali bagi kita untuk mengetahui "Hari
Lahir (Weton) " kita masing-masing. Sebagian besar suku Jawa menyakini bahwa
merahasiakan hari lahir ( weton ) itu
sangat penting, karena dengan diketahuinya hari
lahir / weton seseorang akan mudah bagi orang lain untuk berbuat
hal-hal yang bersifat negatif,
Terlepas dari itu semua, tergantung pada keyakinan kita
masing-masing.
RUWATAN
Ruwatan Adalah
Tradisi ritual Jawa sebagai sarana pembebasan dan penyucian, atas
dosa/kesalahannya yang diperkirakan bisa berdampak kesialan didalam hidup
seseorang
Malapetaka menyebabkan kesengsaraan dan
penderitaan merupakan bahaya hidup yang besar dan berat bagi anak yang lahir
dalam golongan sukerta,
disamping Ruwatan Sukerta juga ada Ruwatan
Pribadi
Yang dimaksud Sukerta adalah golongan orang
yang kejatuhan kotoran (suker), sehingga selalu diintai oleh bencana atau
malapetaka karena menurut ceritakuno ia menjadi jatah makanan Bhatara Kala.
Bhatara Kala merupakan raksasa yang
menakutkan dan akan mengitari serta siap memangsa manusia Sukerta ( dalam alam
modern : bhatara kala ini diesbut sebagai lubang hitam / black hole nya manusia
) adalah karma dari perbuatan jahat mereka sendiri yang mereka lakukan pada
kelahiran sebelumnya.
Ruwatan Pribadi
adalah ruwatan manusia yang kehidupan sehari-harinya merasa ada ganjalan
sehingga mengakibatkan kesialan,Untuk melepaskan dari cengkraman Bhatara Kala
menurut kepercayaan Jawa, Sukerta maupun ganjalan dalam hidup sehari-hari perlu
diruwat (dibersihkan)
JENIS – JENIS SUKERTA.
1. Ontang-anting :
Anak tunggal lelaki
2. Unting-unting :
anak tunggal perempuan
3. Anggana : anak
tunggal karena saudara semuanya meninggal dunia
4.gentono -
gentini: dua bersaudara, laki-laki dan perempuan
5. Uger-uger
Lawang : dua bersaudara, laki-laki semua
6. Kembang mayang:
dua bersaudara, perempuan semua
7. Gotong Mayit :
tiga bersaudara, laki-laki semua
8. Cukit Dulit :
tiga bersaudara, perempuan semua
9. Sendang Kapit
Pancuran : tiga bersaudara, perempuan berada ditengah
10. Pancuran Kapit
Sendang : tiga bersaudara, laki-laki berada ditengah
11. Serimpi :
empat bersaudara, perempuan semua
12. Seramba :
empat bersaudara, laki-laki semua
13. Pandawa : lima
bersaudara, laki-laki semua
14.
Pancagati/Pancalaputri : Lima bersaudara, perempuan semua
15. Ipil-ipil
(Pupulan) : lima bersaudara, 1 lelaki, 4 perempuan
16. Padhangan :
lima bersaudara, 1 perempuan, 4 lelaki
17. Lumpat Kidang
: Bersaudara dengan urutan tidak teratur
18. Gilir Kacang :
bersaudara 3 orang lebihdengan urutan laki perempuan atau sebaliknya
19. Gendhong :
banyak bersaudara, perempuan ditengah
20. Pathok :
banyak bersaudara, laki-laki ditengah
21. Semara :
bersaudara lebih 5 orang, laki-laki/perempuan semua
22. Kembar : Lahir
bersamaan dari satu rahim ibu
23. Dampit : lahir
bersamaan, laki-laki dan perempuan
24. Gondang Kasih
: Lahir bersamaan, putih atau cemani
25. Tawang
Gantungan : lahir bersamaan dari satu rahim ibu, tetapi berbeda hari (1 hari
26. Bungkus :
lahir dalam keadaan bungkus (masih terbungkus tembuni/ari-ari
27. Sakreda :
lahir kembar dalam bungkus
28. Sumala : Lahir
berpenyakit/aneh
29. Bungkem :
lahir tidak menangis
30. Jempina :
lahir sebelum masanya (premature
31. Margana :
lahir diperjalanan
32. Wahana : lahir
dikeramaian
33. Wujungan :
lahir ketika keributan (perang, dll
34. Julung
Sungsang : lahir saat matahari tinggi
35. Julung Wangi :
lahir ketika matahari terbit
36. Julung Sarab :
lahir ketika matahari terbenam
37. Julung Pujut :
lahir ketika magrib
38. Cemani : lahir
hitam mulus
39. Wungle : lahir
dengan kulit putih semua
40. Salewah :
berkulit 2 (dua) warna
41. Wujil :
terlahir kecil dan pertumbuhan selanjutnya tidak bisa tinggi
42. Wungkuk :
terlahir punggungnya bungkuk
43. Bucu : terlahi
punggungnya bongkok
44. Dengkek :
dadanya bongkok / menggembung kedepan
45. Butuh : Dada
dan punggungnya bongkok
46. Tiba Sampir :
Lahir kalung usus (terjepit tali pusar
47. Tiba Ungker :
Ketika lahir tubuhnya terjepit tali pusar
48. Brojol :
Bahu/pundak melorot
49. Tokling :
lahir kepalanya terlalu kecil
50. Sumala : Anak
cacat sejak lahir
Kebudayaan Jawa sebagai subkultur Kebudayaan
Nasional Indonesia, telah mengakar bertahun-tahun menjadi pandangan hidup dan
sikap hidup umumnya orang Jawa. Sikap hidup masyarakat Jawa memiliki identitas
dan karakter yang menonjol yang dilandasi direferensi nasehat-nasehat nenek
moyang sampai turun temurun, hormat kepada sesama serta berbagai perlambang
dalam ungkapan Jawa, menjadi ruh jiwa seni dan budaya Jawa
Dalam ungkapan ” Crah Agawe Bubrah – Rukun Agawe Santosa ” menghendaki keserasian dan keselarasan
dengan pola pikir hidup saling menghormati. Perlambang dan ungkapan-ungkapan
halus yang mengandung pendidikan moral, banyak kita jumpai dalam kehidupan
sehari-hari, misalnya ;
Ojo Dumeh : Merasa dirinya lebih
Mulat sarira, Hangrasa wani : Mawas diri,
instropeksi diri
Mikul Duwur, Mendem Jero : Menghargai dan
menghormati serta menyimpan – rahasia orang lain.
Jer Basuki Mawa Beya : Kesuksesan perlu atau
butuh pengorbanan
Ajining diri saka obahing lati : Harga diri
tergantung ucapannya
Prinsip pengendalian diri dengan ” Mulat
Sarira ” suatu sikap bijaksana untuk selalu berusaha tidak menyakiti perasaan
orang lain, serta ” Aja Dumeh ” adalah peringatan kepada kita bahwa jangan
takabur dan jangan sombong, tidak mementingkan diri sendiri dan lain sebagainya
yang masih mempunyai arti sangat luas.
Kepercayaan
terhadap keberadaan roh nenek moyang, menyatu dengan kepercayaan terhadap
kekuatan alam yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan manusia, menjadi ciri
utama dan bahkan memberi warna khusus dalam kehidupan religiusitas serta adat
istiadat masyarakat Jawa,
yaitu
: Sinkretisme, Tantularisme dan Kejawen yang bersifat Toleran, Akomodatif serta
Optimistik.
Berbagai
ungkapan dan ungkapan Jawa, merupakan cara penyampaian terselubung yang bisa
bermakna ” Piwulang ” atau pendidikan moral,
karena adanya pertalian budi pekerti dengan kehidupan spiritual, menjadi
petunjuk jalan dan arah terhadap kehidupan sejati
Terkemas
hampir sempurna dalam seni budaya gamelan dan gending-gending serta kesenian
wayang kulit purwa yang perkembanganya mempunyai warna yang unik, yaitu dari
akar yang kuat, berpegang pada kepercayaan terhadap roh nenek moyang, kemudian
bertambah maju setelah mengenal segala bentuk kesenian dari India dan menjadi
sempurna begitu masuk agama Islam di Pulau Jawa.
Paham
mistik Jawa yang berpokok ” Manunggaling Kawula Gusti
” ( persatuan manusia dengan Tuhan ) dan ” Sangkan Paraning Dumadi ” ( asal dan
tujuan ciptaan ) bersumber pada pengalaman religius, berawal dari sana manusia
itu rindu untuk bersatu dengan yang Illahi, ingin menelusuri arus kehidupan
sampai ke sumber muaranya. Perumusan pengalaman religius Jawa dalam sejarahnya
tidak lepas dari pengaruh-pengaruh agama besar seperti Hindu, Budha dan Islam
beserta dengan mistiknya yang khas, seperti terlihat dalam kitab-kitab Tutur,
Kidung dan Suluk
Wayang
sebagai pertunjukan, merupakan ungkapan-ungkapan dan pengalaman religius yang
merangkum bermacam-macam unsur lambang, bahasa gerak,suara, warna dan rupa.
Dalam wayang terekam ungkapan pengalaman religius yang ” kuno ” seperti tampak bahwa pada tahap perkembangannya dewasa ini,
masih berperan pula mitos dan ritus, misalkan pada lakon Ruwat atau Murwa Kala
Secara
tradisional, wayang merupakan intisari kebudayaan masyarakat Jawa yang diwarisi
secara turun temurun, tidak hanya sekedar tontonan dan tuntunan bagaimana
manusia harus bertingkah laku dalam kehidupannya, namun juga merupakan tatanan
yang harus dititeni kanti titis. ( merupakan hukum alam yang maha teratur yang
harus diketahui dan disikapi secara bijaksana ) untuk menuju kasunyatan serta
mencapai kehidupan sejati. Bagi manusia jawa ( manusia yang mengerti sejati )
wayang merupakan pedoman hidup, bagaimana mereka bertingkah laku dengan sesama
dan bagaimana menyadari hakekatnya sebagai manusia serta bagaimana dapat
berhubungan dengan sang penciptaNya
Tradisi
“upacara /ritual ruwatan” hingga kini masih dipergunakan orang jawa, sebagai
sarana pembebasan dan penyucian manusia atas dosanya/kesalahannya yang
berdampak kesialan didalam hidupnya. Dalam cerita “wayang“
dengan lakon Murwakala pada tradisi ruwatan di jawa ( jawa tengah) awalnya
diperkirakan berkembang didalam cerita jawa kuno, yang isi pokoknya memuat
masalah pensucian, yaitu pembebasan dewa yang telah ternoda, agar menjadi suci
kembali, atau meruwat berarti: mengatasi atau menghindari sesuatu kesusahan
bathin dengan cara mengadakan pertunjukan/ritual dengan media wayang kulit yang
mengambil tema/cerita Murwakala
Dalam
tradisi jawa orang yang keberadaannya dianggap mengalami nandang sukerto/berada
dalam dosa, maka untuk mensucikan kembali, perlu mengadakan ritual tersebut,
yang dalam tradisi pewayangan disebut “Kama salah kendang gumulung “. Ketika
raksasa ini menghadap ayahnya (Batara guru)
untuk meminta makan, oleh Batara guru diberitahukan agar memakan manusia yang
berdosa atau sukerta. Atas dasar inilah yang kemudian dicarikan solusi, agar
tak termakan Sang Batara Kala ini diperlukan ritual ruwatan.
Kata
Murwakala/purwakala berasal dari kata purwa (asal
muasal manusia) ,dan pada lakon ini, yang menjadi titik pandangnya
adalah kesadaran : atas ketidak sempurnanya diri manusia, yang selalu terlibat
dalam kesalahan serta bisa berdampak timbulnya bencana (salah kedaden)
Selain
Sukerta, terdapat juga ” Ruwat Sengkala atau Sang Kala “ yang artinya menjadi
mangsa Sangkala yaitu jalan kehidupannya sudah terbelenggu serta penuh
kesulitan, tidak bisa sejalan dengan alur hukum alam ( ruang dan waktu ) ini
disebabkan oleh kesalahan-kesalahan perbuatan atau tingkah lakunya pada masa
lalu.
Maturnuwun sanget amargi sampun maos pitutur lan pameling serat
carito jawa purwa.
We say many thanks,
because've read the advice and reminders of ancient Javanese stories